Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945,
dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,
maka seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Dan ditunjuknya
Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat
pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa
Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang,
termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka
terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR).
Di
beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan
senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi
kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan
Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara
menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata
tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma
menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata
yang sudah agak usang.
Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin
bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa.
Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya
kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus
dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti
pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan
itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.
Pertempuran 5 hari
di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945.
Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan
kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan
siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi
Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para
pemuda lainnya.
Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas
Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam
perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik,
pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur
yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.
Keadaan kontras
sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan
Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya,
sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan
hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah
mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa,
anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan
latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.
Pertempuran lima
hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang
bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang.
Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak
dari Cepiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang
terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang
dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang
berpangkalan di tempat tersebut.
Suasana kota Semarang menjadi
panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera
mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi
hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan
masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah
diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih
memperuncing keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang
menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air
minum itu.
Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit
Rakyat (Purasara) ketika mendengar berita ini langsung meluncur ke
Siranda untuk mengecek kebenarannya. Tetapi beliau tidak pernah sampai
tujuan, jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena
dibunuh oleh tentara Jepang (namamya diabadikan menjadi RS di
Semarang). Keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai
benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.
Markas
BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas
(belakang bekas Pom Bensin Pandanaran). di belakangnya terdapat sebuah
bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan
mendadak terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan
serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat)
dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang yang
menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama
setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin
dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang,
pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.
Kemudian
pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang
dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang
menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki
markas tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh
tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil
meloloskan diri dari pengepungan.
Juga di depan markas Kempeitai
terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda
yang bertahan di bekas Gedung NIS (Lawang Sewu) dan di Gubernuran
(Wisma Perdamaian). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi
Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di
kedua belah pihak.
Meskipun dalam pertempuran tahap pertama
pihak Jepang bagian timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat
penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan
dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat
tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah
pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi
strategis.
Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga
menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan
Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan
lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan
yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota.
Pasukan
BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza
Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah
menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan
sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari
pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang.
Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap
Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka
benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai
kota.
Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR
dan para pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada
pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar,
karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.
Akibat
serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak
leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka
yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan
mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena
tidak segera dikubur.
Petugas lain yang sangat besar jasanya yang
bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri) ialah dapur umum dimana
para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah pertempuran meluas,
selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong
royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga
kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan
jangan dilupakan.
Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat
dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda kita.
Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang
menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru
pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang
terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai
itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang
menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota
Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah
pertempuran.
Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan
mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah, situasi menjadi
berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk mengatasi
situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan
penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas.
Diperkirakan 2000 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran
besar-besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500
orang kedapatan tewas.
Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro
yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dari hasil
peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa tewas dalam
pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk
menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan
lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang
sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang
segera akan mendarat di Semarang.
Dalam perundingan dengan
Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh
orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro
menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata
itu, pun tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula
apa si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada
Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal
penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan
senjata dengan pihak Jepang.
Pada umumnya para pemuda kecewa atas
gencetan senjata itu, karena banyak kawan-kawan yang telah gugur dan
mereka menghendaki menuntut balas. Setelah Sekutu mendarat di Semarang
pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir pulalah pertempuran dengan
pihak Jepang yang selama 5 hari itu.
Kesimpulan pertempuran lima
hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri, khususnya bagi rakyat
Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat untuk
mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil,
karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang