INGIN FILENYA?
DATANG AJA KE SOLNET! TENTUNYA LEBIH MURAH DARI WARNET MANAPUN
LOKASI
SEBELAH SELATAN MASJID AL-HUDA
Bila kita berbicara tentang apa yang
dimaksud dengan pelanggaran HAM, maka akan selalu terjadi banyak perdebatan.
Masih dalam konteks ini, HAM perlu dipahami sebagai suatu hal yang terus
berkembang seiring dengan jaman. Sejak dideklarasikannya Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia pada tahun 1945 hingga saat ini, pemahaman tentang HAM terus
berkembang seiring dengan terjadinya berbagai peristiwa di seluruh belahan
dunia. Artinya pemaknaan pelanggaran HAM juga terus berkembang dan terus
diperbaharaui
Sebelum melangkah pada pemahaman
tentang pelanggaran HAM, ada baiknya kita memahami basis dasarnya yaitu Hak
Asasi Manusia. Selama ini, banyak pihak yang memahami pelanggaran HAM
dengan salah kaprah.
Agar lebih mudah, mari kita lihat
dua contoh kasus
- Seseorang
memukul tetangganya hingga luka berat karena mencuri ayam.
- Seorang
polisi memukuli seorang tersangka untuk memaksanya mengakui perbuatannya
Menurut anda, apakah kedua peristiwa
tersebut adalah pelanggaran HAM?
Pelanggaran HAM
Jika anda mengatakan bahwa kedua
kasus di atas adalah sebuah pelanggaran HAM, maka mari kita coba lihat kembali
konsep dasarnya.
Dalam kondisi terjadi pelanggaran
hak sesesorang yang dilakukan oleh orang lainnya, maka Negara (yang diwakili
oleh pemerintah) sebagai pemegang mandat untuk melakukan tindakan berdasarkan
undang-undang yang berlaku. Undang-undang tersebut adalah mekanisme dan
prosedur yang bertujuan melindungi setiap warga negaranya. Istilah sederhananya
adalah penegakan hukum. Negara wajib mengambil tindakan kepada orang yang
melakukan pelanggaran sesuai dengan hukum yang berlaku. Artinya, tindakan
pelanggaran tersebut masuk dalam kategori tindakan kriminal. Inilah yang
terjadi pada kasus 1, seseorang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain.
Nah, lalu bagaimana jika Negara yang
melakukan pelanggaran terhadap warganya? Tentu saja, logika yang digunakan
adalah pelanggaran tersebut dilakukan oleh pelaksana mandat Negara yaitu aparat
negara. Sulit bukan? Mereka sebagai pelaksana mandat negara justru sangat
mungkin melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warga negaranya karena memiliki
kemampuan atau kekuasaan yang justru diberikan (baca mandat) oleh warga
negaranya. Nah, inilah yang terjadi pada kasus 2. Polisi sebagai bagian dari
aparat negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada warga negara tapi
justru melakukan pelanggaran.
Oleh karena itu, nilai Hak Asasi
Manusia kemudian diterjemahkan dalam sejumlah hukum internasional yang kemudian
diratifikasi oleh Indonesia. Dalam instrumen hukum HAM yang berlaku di
Indonesia melalui UU No. 39/1999, dalam pasal 8, 71, dan 72; negara mempunyai
kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM melalui implementasi
dalam berbagai bentuk kebijakan. Dalam hal ini, pelanggaran terjadi dalam
kondisi negara telah gagal untuk memenuhi salah satu diantara tiga
kewajibannya.
- kewajiban
untuk menghormati: semua kebijakan yang
dikeluarkan harus di hormati oleh negara termasuk institusi dan aparatur
negara. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak melakukan tindakan yang
dapat melanggar keutuhan dari individu atau kelompok; atau melanggar
kemerdekaan seseorang.
- Kewajiban
untuk melindungi: kewajiban dimana negara
beserta aparatur negara wajib melakukan tindakan seperlunya untuk
melindungi dan mencegah seorang individu atau kelompok untuk melanggar hak
individu atau kelompok lainnya. Termasuk perlindungan atau pelanggaran
terhadap kebebasan seseorang.
- Kewajiban
untuk memenuhi: negara mempunyai kewajiban
untuk melakukan tindakan-tindakan yang menjamin setiap orang untuk
memiliki hak hukum dalam memenuhi kebutuhan yang termasuk dalam instrumen
HAM, dimana hak itu tidak dapat dipenuhi secara pribadi.
Hak Apa Saja Yang Dapat Dilanggar?
Banyak orang yang terjebak melihat
dalam “kaca mata” Hak Asasi Manusia bidang sipil dan politik. Pelanggaran yang kemudian
dipahami dalam artian kekerasan fisik yang terjadi dan jatuh korban secara
fisik (meninggal dan luka-luka). Sementara kasus seperti penggusuran paksa
sejumlah orang dari satu wilayah tanpa prosedur yang sesuai dianggap bukan
sebagai sebuah pelanggaran HAM.
Tahun 1993, Konferensi Dunia tentang
Hak Asasi Manusia di Vienna telah memberikan perspektif yang lebih luas
terhadap pengertian pelanggaran HAM. Konferensi itu secara tegas menghasilkan
pernyataan bahwa HAM terdiri dari hak bidang sipil, politik, sosial, ekonomi
dan budaya. Sehingga pelanggaran yang terjadi dalam bidang-bidang tersebut
merupakan pelanggaran HAM yang memiliki saling keterkaitan dan mempengaruhi
satu bidang dengan yang lainnya sehingga itu terjadi.
HAM
merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak lahir
di dunia. Semua umat manusia terlahir dengan hak yang sama. Maka dari itu,
berikut merupakan beberapa Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia.
Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia :
Kasus
Yang Sudah di Ajukan ke Sidang Pengadilan :
1. Peristiwa Tanjung Priok
Pelanggaran terjadi pada tahun 1984 dan memakan 74 korban. Peristiwa ini
terjadi akibar serangan terhadap massa yang berunjuk rasa.
2. Penculikan Aktifis 1998
Kasus yang terjadi pada tahun 1984-1998 ini mengakibarkan 23 korban dan
terjadinya peristiwa penghilangan secara paksa oleh Militer terhadap para
aktifis Pro-Demokrasi
3. Kasus 27 Juli
Terjadi pada tahun 1996 dan memakan 1.678 korba. Peristiwa ini terjadi akibat
Penyerbuan kantor PDI.
4. Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus yang terjadi pada tahun 1998 ini mengakibatkan 31 korban. Peristiwa yang
terjadi akibat Penembakan aparat terhadap mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.
5. Kerusuhan Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat
Peristiwa yang terjadi tahun 1999 ini terjadi akibat Agresi Militer dan memakan
97 Korban.
6. Peristiwa Abepura, Papua
Peristiwa ini memakan 63 korban dan terjadi pada tahun 2000 dan terjadi akibat
penyisiran membabi buta terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura.
Kasus Yang Belum di Proses Secara Hukum :
1. Pembantaian Massal 1965
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1965-1970 ini memakan 1,5 jt korban.
Peristiwa yang terjadi akibat korban sebagian besar adalah anggota PKI atau
ormas yang berafiliasidengan PKI, sebagian besar dilakukan di luar proses hukum
yang sah.
2.
Kasus-kasus di Papua
Pada tahun 1966 memakan Ribuan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi ini akibat
Operasi instensif yang dilakukan TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi
berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam antaraperusahaan tambang
internasional, aparat pemerintah menghadapi penduduk lokal.
3. Kasus Timor-Timur Pasca Referendum
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1974-1999 memakan Ratusan Ribu korban jiwa.
Peristiwa yang dimulai dari agresi militer TNI (Operasi Seroja)
terhadappemerintahan Fretelin yang sah di Timor-Timur. Sejak saat itu
Timor-Timur selalu menjadi daerah operasi militer rutin yangrawan terhadap
tindak kekerasan aparat RI.
4. Kasus-kasus di Aceh pra DOM
Terjadi pada tahun 1976-1989 memakan banyak Ribuan korban. Peristiwa yang
terjadi semenjak dideklarasikannya GAM Hasan Di Tiro, Aceh selalumenjadi daerah
operasi militer dengan intensitas kekrasan yang tinggi.
5. Penembakan Misterius (Petrus)
Terjadi pada tahun 1982-19851. Memakan 678 Korban. Peristiwa ini terjadi akibat
sebagian besar tokoh criminal, residivis, atau mantancriminal. Operasi ini
bersifat illegal dan dilakukan tanpa identitasinstitusi yang jelas
6. Kasus Marsinah
Terjadi pada tahun 1995 hanya memakan 1 korban jiwa saja. Pelaku utamanya tidak
tersentuh, sementara orang lain dijadikan kambing hitam. Bukti keterlibatan
militer dibidang perburuhan
7. Kasus dukun santet di Banyuwangi
Terjadi pada tahun 1998. Memakan Puluhan korban. Peristiwa yang terjadi karena
adanya pembantaian terhadap tokoh masyarakat yang dianggap dan ditusuh dukun
santet
8. Kasus Bulukumba
Peristiwa yang terjadi pada tahun 2003 memakan 2 tewas dan puluhan luka-luka.
Insiden ini terjadi karena keinginan PT. London Sumatera untuk melakukan
perluasan area perkebunan mereka, namun masyarakat menolak upaya tersebut.
Contoh Peristiwa
Pelanggaran HAM :
Peristiwa Tanjung
Priok
Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan
yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok,
Jakarta,
Indonesia
yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung
rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah
gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.
Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas
oleh tindakan aparat. Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam
defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif,
lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran
hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.
Penculikan aktivis
1997/1998
Peristiwa
penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei
1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode
tepat menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara
mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul
kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman
mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan
ketiga muncul.
Ke-13 aktivis
yang masih hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul,
Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka
berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega,
Mega Bintang, dan mahasiswa.
Kesimpulan Komnas HAM
Kasus ini diselidiki oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke
Jaksa Agung pada
2006.
Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini
bekerja sejak
1
Oktober 2005
hingga
30
Oktober 2006.
Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang
terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara
paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada 2006) meminta agar hasil
penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk
membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk
menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten
tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998,
Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan
hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis)
Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.
Pada
22 Desember
2006 Komnas HAM
meminta DPR agar mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat
penegak hukum untuk menuntaskan persoalan. Ketua DPR
Agung
Laksono pada
7 Februari 2007 juga meminta Presiden Yudhoyono
memerintahkan Jaksa Agung
Abdul Rahman Saleh melakukan penyelidikan dan
penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13
aktivis.
Peristiwa 27 Juli
Peristiwa ini
meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta,
khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan
gedung terbakar.
Pemerintah saat
itu menuduh aktivis PRD
sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan
menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat,
yakni 13 tahun penjara.
Istilah
Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:
- Kudatuli. Akronim dari
Kerusuhan 27 Juli. Pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi dan
kemudian luas digunakan oleh berbagai media massa. Mayjen TNI (Purn.)
Prof. Dr. Soehardiman, SE juga pernah menggunakannya dalam bukunya.
- Sabtu Kelabu. Merujuk
pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata
"kelabu" untuk menggambarkan "suasana gelap" yang
melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Tidak diketahui
pencetusnya, namun diduga semula beredar dalam forum-forum di Internet.
Laporan Komnas HAM
Hasil penyelidikan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia:
5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang
ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran
hak
asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut
pertemuan tanggal
24
Juli 1996 di
Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen
Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat
itu adalah Brigjen
Zacky Anwar Makarim,
Kolonel Haryanto, Kolonel
Joko Santoso, dan
Alex Widya Siregar.
Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau
pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas
Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya
menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya
Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan.
Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan
pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah
massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri
tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni
2000.
Latar belakang
Soeharto
dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali
Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk
menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar
bebas di Kantor DPP PDI.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang
Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku
politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa,
perlawanan dari rakyat pun terjadi.
Tragedi Penembakan Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada
12 Mei 1998, terhadap
mahasiswa pada saat
demonstrasi menuntut
Soeharto turun
dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti di
Jakarta,
Indonesia
serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah
Elang Mulia Lesmana,
Heri Hertanto,
Hafidin Royan, dan
Hendriawan
Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di
tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.
Latar belakang dan kejadian
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998,
yang terpengaruh oleh
krisis finansial Asia. Mahasiswa pun
melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke
gedung
DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju
gedung
DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari
Polri--militer datang
kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung
di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan.
Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah
Brigade
Mobil Kepolisian RI,
Batalyon
Kavaleri 9,
Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan
Udara
Kostrad,
Batalyon Infanteri 202,
Pasukan Anti Huru Hara
Kodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng,
gas air
mata,
Styer,
dan
SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu
orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan
peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian
disebabkan peluru tajam.
Peristiwa
Abepura, Papua
Laporan Kasus Abepura
Setelah terkatung-katung selama lebih dari tiga tahun sejak Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) menyerahkan hasil penyelidikan KPP HAM Abepura 2001,
Persidangan Kasus Abepura akhirnya digelar di Makasar tgl. 7 Mei 2004. Namun
demikian, terdapat sejumlah keganjilan yang mencolok seperti telah diamati oleh
Tim Koalisi. Misalnya, terdakwa tetap aktif menduduki jabatan mereka di jajaran
kepolisian. Jumlah terdakwa yang dipangkas dari 25 orang (rekomendasi KPP HAM
Abepura) menjadi 2 orang saja. Jaksa tidak mencantumkan dalam dakwaannya unsur
ganti rugi kerugian materiil dan immateriil yang amat penting bagi korban.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Abepura
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Abepura beranggotakan: Perhimpunan Bantuan
Hukum Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM Jakarta),
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM Papua), LBH Papua, Komisi
Anti Kekerasan dan Orang Hilang (KONTRAS Papua), Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, Sinode GKI Papua, Aliansi Demokrasi untuk
Papua (ALDP), Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua
(LP3AP), Lembaga Bantuan Hukum dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH P2I),
LBH Ujung Pandang, Makassar Intellectual Law (MILL), dan Komisi Pemantau
Legislatif (KOPEL).
Catatan dari Sidang di Makasar
Sidang Perkara Abepura 7 Desember 2000 telah bergulir sejak 7 Mei 2004.
Komunitas Korban bersama Tim Koalisi terus memantau perkembangan persidangan
bersama pegiat HAM di seluruh dunia. Berikut disajikan pokok-pokok bahan
persidangan.
Seruan untuk Bertindak
Pengadilan kasus Abepura ini adalah Pengadilan HAM permanen yang pertama kali
terjadi dalam sejarah peradilan di Indonesia. Masa depan penegakan HAM amat
dipengaruhi oleh proses persidangan ini. Karena itu, bersama Komunitas Korban
dan Koalisi, kami mendesak Anda untuk segera ambil tindakan dengan melayangkan
surat-surat ke alamat berikut:
Mahkamah Agung RI
Jl. Merdeka Utara No. 9-10
P.O. Box 1020
Jakarta 10010
Tel. +62-21-3843348
Kapolri
Jend. Pol. Da'i Bachtiar
Jl. Trunojoyo No.3
Jakarta Selatan
Tel. +62-21-7218012
Fax. +62-21-7207277
Pembantaian Masal 1965
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian
terhadap orang-orang yang dituduh
komunis di
Indonesia pada masa setelah terjadinya
Gerakan 30 September di
Indonesia.
Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta
orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa
penting dalam masa transisi ke
Orde Baru:
Partai Komunis Indonesia (PKI)
dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden
Soekarno, dan
kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada
Soeharto.
Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan
dituduhkan kepada PKI.
Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan
militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pembantaian dimulai pada
Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum akhirnya mereda pada awal
tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota
Jakarta, yang
kemudian menyebar ke
Jawa Tengah dan
Timur,
lalu
Bali. Ribuan
vigilante
(orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat
menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun
pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di
benteng-benteng PKI di
Jawa Tengah,
Timur,
Bali, dan
Sumatra
Utara.
Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme
melalui
Nasakom
telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan
oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada jalan
menuju kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh
Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi
Presiden Sementara. Pada Maret 1968
Soeharto secara resmi terpilih menjadi presiden.
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah
Indonesia,
dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga
internasional. Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian
para ahli dari berbagai prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan
serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru"
dan kontrol ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis
menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan
pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas
komunisme
pada
Perang
Dingin.
Kasus-kasus di Aceh pra DOM
Kasus
Aceh:
a.Kasus-kasus pra-DOM 1976-1989.
b.DOM Aceh 1989-1998.
c.Kasus Simpang KKA (Aceh Utara) 1999
d.Kasus kekerasan dalam operasi wibawa (Lhoksumawe) 1999
e.Kasus pembantaian Tgk. Bantaqiah dan santrinya (Aceh Barat) 1999
f.Pembantaian Idi Cut (Aceh Timur) 1999
g.Kasus Aktivis RATA (Aceh Utara) 2000
Tahun
kejadian: 1976-2000
Tempat kejadian: Menyebar di seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darusalam. Untuk
pelanggaran HAM yang berat seputar DOM, khususnya terjadi di wilayah Aceh
Utara, Aceh Timur dan Pidie.
Semenjak dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah
operasi militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi, apalagi ketika wilayah
Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan dalih untuk
melakukan perburuan terhadap gerombolan pengacau keamanan (GPK), yang dipimpin
oleh Hasan Tiro. Bentuk kekerasan lain misalnya dalam kasus Simpang KKA, aparat
TNI menembaki masyarakat yang sedang berdemonstrasi di Kecamatan Dewantara,
Aceh Utara. Dalam kasus Tgk Bantaqiah, TNI bahkan melakukan penyerbuan terhadap
pesantren milik Tgk. Bantaqiah di Beutong, yang menewaskan tengku, para santri,
dan beberapa orang keluarganya.
Penembakan Misterius (Petrus)
Penembakan
misterius atau sering disingkat
Petrus (operasi clurit) adalah suatu
operasi rahasia dari Pemerintahan
Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat
kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah
operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap
mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul
istilah "petrus", penembak misterius.
Sejarah
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada
tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen
Pol
Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar
perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan
Rapim
ABRI, Soeharto
meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan
angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16
Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana
Soedomo dalam
rapat koordinasi dengan
Pangdam Jaya,
Kapolri,
Kapolda Metro Jaya dan Wagub
DKI Jakarta
di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan
untuk melakukan
Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti
oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Akibat
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas
akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15
orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya
tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam
kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke
dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke
sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan
diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama
kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M
Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali
(Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI
Yogie
S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983).
Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja
dilaksanakan secara tertutup.
Kontroversi
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra,
baik dari kalangan hukum, politisi sampai pemegang kekuasaan. Amnesti
Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah
Indonesia ini.
Kasus Marsinah
Marsinah (lahir
10 April 1969 – meninggal
8 Mei 1993 pada umur 24
tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT.
Catur Putra Surya (CPS)
Porong,
Sidoarjo,
Jawa Timur
yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada
8 Mei 1993 setelah menghilang
selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di
Dusun Jegong Kecamatan Wilangan,,
Nganjuk, dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah
RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr.
Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh
Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun
yang sama.
Latar Belakang
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.
50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan
karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan
tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi
pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan
April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat
Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk
rasa tanggal
3
dan
4 Mei 1993 menuntut kenaikan
upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250!
Garis waktu
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif
dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa
tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada
tanggal
2 Mei 1993 di Tanggul Angin
Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh
mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (
Koramil) setempat
turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok
total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah
pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari
mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal
5 Mei 1993,
Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut
unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu
mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat
gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi
Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.
Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal
8 Mei 1993.
Komite solidaritas
Tahun 1993, dibentuk
Komite
Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM adalah komite yang didirikan oleh
10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan
investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KSUM
melakukan berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan and menghentikan
intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan perburuhan.
Munir menjadi salah
seorang pengacara buruh PT. CPS melawan
Kodam
V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT. CPS Porong atas pemutus hubungan
kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat kodim sidoarjo terhadap 22 buruh PT. CPS
Porong yang dianggap sebagai dalang unjuk rasa.